BAGI KITA, merekalah monsternya. Tetapi bagi para monster, kitalah monsternya. Dan setelah mengetahui kebenarannya, bagaimanapun, aku takkan bisa menyangkal semua itu. Kau harus melihat dari sisi para monster; dengarkan mereka dan buka matamu agar kau dapat melihat kebenaran itu dengan mata kepalamu sendiri. Untuk mengerti bahwa kita hanyalah kaki tangan yang berkuasa dan kacung bagi pemerintah. Mereka ingin kita membunuh, kita pasti melakukannya. Jika menolak, mereka bakal tetap membuat kita melakukannya. Mereka bakal membuat kita menjadi orang yang buta--tidak berhati dan belas kasih. Bahkan dengan alat-alat itu ... teknologi yang mereka ciptakan, mampu membuat kita melihat mereka menjadi sekelompok monster. Lalu, kita akan dengan mudahnya menghunjamkan serbuan peluru itu tanpa ampun sampai monster itu benar-benar lenyap.
Masih teringat dalam benakku, tiga tahun lalu, pada tahun keempat ketika negara ini terancam oleh keberadaan makhluk-makhluk mengerikan yang kita kenal sebagai monster itu muncul bergerombolan dari dalam hutan dan mulai menyerang penduduk setempat, aku bergabung secara sukarela menjadi prajurit khusus untuk melindungi negara. Namun, sebelum benar-benar ditugaskan ke berbagai pos perbatasan hutan dan menjadi abdi negara, aku harus melalui serangkaian tes fisik dan mental, lalu dilanjutkan tes nurani dan penanaman sebuah perangkat kecil di bawah telinga, entah apa nama dan gunanya, tetapi mereka hanya bilang untuk menghilangkan rasa takut dan mengatasi trauma mendatang.
Aku tidak percaya, kenapa mereka tidak beri pil atau obat lain saja untuk menghilangkannya? Lalu, kenapa pula rasa takut harus dihilangkan? Memangnya monster semenakutkan apa yang ada di luar sana? Tak seorang pun yang pernah benar-benar melihat monster itu selain para prajurit khusus. Bahkan TV hanya memberitakan soal hasil perang terhadap monster secara terus-menerus tanpa tahu seperti apa dan bagaimana wujud monster-monster itu. Pemerintah melarang kita untuk tahu. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan jawabannya adalah bergabung dengan prajurit khusus seperti yang kulakukan. Bukankah cara yang licik agar kita bisa berkorban kepada negara?
Penugasan pertamaku adalah di Pos Level 1 di selatan Mevnts, yang berbatasan langsung dengan hutan Phyxs. Setiap satu jam sekali, secara berkelompok kami diutus untuk menelusuri hutan dan kembali satu jam berikutnya untuk bergantian dengan kelompok lain. Tugas kami hanyalah untuk mencegah monster-monster agar tidak keluar dari hutan dan menembak mereka jika melihat salah satu dari monster-monster itu karena kerap kali ada satu-dua monster yang berkeliaran. Bagaimana mungkin aku menembaki monster jika wujud atau rupanya saja aku tidak tahu? Selama hari-hari pertama bertugas di sana, aku belum sekali pun pernah melihat satu dari monster-monster itu. Lagi-lagi, rasa ragu menuntunku pada hulu yang sama: apakah monster itu benar-benar ada?
Lebih dari seminggu, akhirnya waktu terus berlalu tanpa ada pergerakan dari para monster dan aku mulai menyesal bergabung dengan prajurit khusus karena hanya buang-buang waktu saja. Aku ingin keluar, tapi tidak bisa. Komandanku bilang, tunggu dan lihat saja. Kau hanya bisa keluar hanya jika sudah melihat seperti apa wujud monster itu dan melenyapkan salah satunya.
Berminggu-berminggu, kami terkurung di pos tugas dan bolak-balik menelusuri hutan tanpa hasil pasti. Namun, hari itu, pada pertengahan 2029, aku dan kelompokku menemukan sesuatu yang berlokasi jauh di dalam hutan yang gelap, beberapa pondok jerami seperti pada zaman-zaman primitif dengan bekas api unggun, yang kelompokku yakini sebagai sarang monster. Yang benar saja! Buat apa pula monster membangun pondok jerami dengan api unggun? Memangnya mereka mau berkemah?
Selama tiga puluh menit, kami bersembunyi dan mengawasi area hutan di sekitar tempat itu. Tidak ada tanda-tanda kedatangan monster sampai aku memperhatikan sesuatu yang kecil dengan sosok tidak karuan, seukuran anak-anak berlari cepat masuk ke dalam pondok. Ia terlihat semacam gabungan antar manusia dan binatang yang aneh. Inikah sosok monster itu?
Kemudian serbuan tembakan membahana. Sebelum makhluk itu berada di dalam, ia telah terkapar lebih dulu di atas tanah. Aku, entah kenapa tidak menembak dan hanya bisa tercengang ketika kelompokku menembak serentak. Kami masih menunggu dan diam di persembunyian kami karena yakin masih ada yang lainnya. Betul saja, dua menit setelah kami-maksudku mereka-melenyapkan monster pertama, monster lain yang lebih besar muncul, berlari dan menjerit-jerit menuju si monster kecil. Namun, sebelum ia mencapai si monster kecil, kelompokku kembali melayangkan tembakan. Tak lama, monster-monster lain muncul melakukan hal yang sama. Suara jeritan dan erangan memenuhi hutan sebelum disusul suara tembakan. Kenapa monster-monster ini seakan menangis ketika kehilangan salah satu dari mereka? Setiap kali monster mati ditembaki, kelompokku bersorak akan kemenanangan.
Lebih dari satu jam berlangsung, hari hampir gelap dan kami hendak meningggalkan hutan, kepalaku tiba-tiba terasa sakit. Pandanganku berkunang-kunang dan rasanya aku melihat kelabatan cahaya. Semacam glitch. Aku berbalik dan menatap monster-monster mati itu dan penglihatanku semakin tak karuan. Aku mendekat dan seseorang dari kelompokku menegurku, tapi aku tak menghiraukannya.
Aroma darah segar menguar. Alih-alih berbau busuk, malahan berbau amis seperti darah manusia yang kucium. Kucelupkan telunjukku di genangan darah dan menyicipinya. Seseorang meneriakkan kalau aku gila dan bakal berubah jadi monster. Tapi tidak ada yang terjadi. Darah ini ... rasanya malah seperti darah manusia. Tidak masuk akal.
Ketika aku hendak bangkit, aku menatap wajah monster itu dan aku melihat sesosok manusia yang telah mati pada sosok monster itu. Aku terlonjak kaget ke belakang dan menimpa tubuh-tubuh monster lainnya yang sudah mati. Aku menatap mereka semua dan mendapati wajah mereka adalah wajah manusia.
Tidak mungkin.
Aku mungkin sudah gila.
Selama seminggu berikutnya, aku dikirim ke pusat medis prajurit khusus dan berkonsultasi dengan seorang dokter. Namanya dokter Walsh. Dia adalah mantan prajurit khusus yang kini menjabat sebagai dokter di pusat medis ini. Dialah yang melakukan penanaman perangkat kecil yang berfungsi untuk menghilangkan rasa takut ini. Dia bilang, perangkat inilah juga bermasalah waktu itu yang membuat penglihatanku bermasalah dan menggantinya lagi dengan yang baru.
—
PADA NOVEMBER 2029, aku dipindahkan ke Pos Level 2 di Marxs. Tidak seperti yang pertama, pos kedua ini ternyata lebih ramai-lebih banyak prajurit, lebih banyak monster. Berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya, setelah penggantian perangkatku dilakukan dan konsultasi berkala dengan Dokter Walsh, aku mulai terbiasa. Aku sudah melenyapkan lebih dari 13 monster kalau dihitung-hitung dalam kurun waktu satu setengah bulan. Itu sudah lebih dari cukup agar bisa keluar dari tempat ini, tapi entah kenapa aku tidak menginginkannya lagi. Aku ingin lebih lama lagi di sini untuk melenyapkan monster-monster itu. Rasanya menyenangkan ketika melenyapkan sesuautu untuk kebaikan orang-orang. Kami di sini sebagai prajurit khusus adalah para pahlawan.
Namun, semua itu tidak berlangsung lama ketika tahun berikutnya, memasuki tahun kelima aku mengalami hal yang sama lagi. Perangkatku tiba-tiba mengalami kerusakan. Hal yang sama terjadi lagi. Pandanganku tak karuan dan berubah-ubah. Aku bergegas menemui Dokter Walsh untuk melapor agar dia mengganti perangkatku, tapi aku tak bisa menemukannya di mana-mana. Dia tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
"Di mana Dokter Walsh?" tanyaku pada seorang perawat.
"Siapa?" katanya. "Tidak ada yang namanya Dokter Walsh di sini."
"Apa? Aku biasanya berkonsultasi dengannya dan dia yang mengganti perangkatku."
Dia menengok kanan-kiri seolah memastikan sesuatu, lalu tiba-tiba menarikku ke dalam sebuah ruangan. "Jangan sebut nama itu lagi!" Dia memojokkanku ke dinding sebelah tangan, kemudian dengan tangan lainnya dia memaksa masuk sebuah pil ke dalam mulutku. "Ini pemberian terakhirnya. Telan ini sekarang! Ini akan membantumu! Dia sudah mati dieksekusi! Dia ketahuan berkhianat!"
—
SUATU MALAM, dengan perangkat yang masih mengalami kerusakan, aku tetap pergi bersama kelompokku untuk menyusuri hutan. Aku berada paling belakang, mengawasi pergerakan di sekitar kami. Malam ini hutan terasa agak dingin dan sepi.
Kejadian beberapa hari lalu masih membuatku bertanya-tanya. Perawat itu bilang kalau Dokter Walsh sudah mati diekseskusi, bagaimana mungkin? Dia juga memaksaku menelan pil tidak jelas yang katanya dari Dokter Walsh. Secara misterius pula, keesokan harinya aku juga tidak melihat perawat itu lagi. Kemana dia? Entah dia ikut menghilang juga seperti Dokter Walsh, yang jelas semua ini terasa sangat janggal. Ditambah lagi, usai menelan pil itu pandanganku juga kembali normal dan kelabatan itu tidak kambuh lagi. Sungguh aneh. Apa mungkin pil itu memang benar-benar dari Dokter Walsh? Apa benar dia dieksekusi dan sekarang giliran orang itu? Ada apa dengan semua ini cuma membuat aku bingung saja!
Tiba-tiba aku merasakan pergerakan dari semak-semak di belakangku. Monster?
Aku tidak yakin, tapi ketika aku berbalik aku tidak melihat apa-apa.
"Ada apa?" tanya prajurit di depanku tampak bersiap menembak dengan senapannya.
Aku menggeleng. "Tidak ada apa-apa."
Prajurit itu kembali menengok ke depan dan setelah mereka semua menjauh, aku diam-diam menuju semak-semak. Dengan moncong senapan yang siapa menembak, mendadak sesuatu menghambur keluar dari sema-semak. Monster!
Aku hampir menembak, tetapi yang keluar hanyalah seorang gadis yang tampak ketakukan. Apa-apaan ini? Seorang gadis berkeliaran seorang diri dalam hutan? Apa dia tidak takut dengan monster? Tubuhku terpaku.
Dia bergumam pelan, "Jangan bunuh aku, tolong ...."
"Apa?"
Menangkap kebingungan yang kupancarkan, dia ikut kebingungan. "Kau bisa mendengarku .... Kau juga bisa melihatku?"
Aku mengangguk bingung.
"Sebagai seorang manusia?"
"Kau bercanda? Kau ini memang manusia."
Mata gadis itu tampak berkaca-kaca seolah ingin menangis. "Sudah bertahun-tahun mereka memburu kami. Orang-orang sepertimu ... tapi baru kali ini aku bertemu dengan yang sepertimu."
"Apa yang kaubicarakan?"
"Kami sama sepertimu!" Gadis itu mulai berseru dan mulai menangis. "Tapi mereka ingin membuat kami terlihat seperti monster agar bisa dilenyapkan. Agar mereka bisa membunuh kami."
"Apa?"
"Inilah kebenarannya. Inilah--"
Kemudian secepat kilat, sebuah peluru melayang di sebelah pipiku dan menghantam kepala gadis itu. Kakiku gemetaran.
Darah menyembul perlahan ....
Aku tidak mengerti.
"Apa yang kaulakukan, Nak!" Seseorang berteriak dari rombonganku. "Tidak bisakah kau melihat sesosok monster di depan mata kepalamu sendiri?"
"Apa?"
Ya, aku melihatnya. Namun, yang kulihat bukanlah sesosok monster, tetapi seorang manusia yang sama sepertiku. Seorang gadis. Mati.
Kautembak. Kaubunuh.
INILAH kebenarannya.
(Maaf otak saya mandek dan saya nggak tahu mau nulis apa. Semua ini asal-asalan bahkan nama kotanya. Ini adalah draf awal dan tidak saya sunting lagi karena malas buat baca ulang.)